Gadis Sol Sepatu

 Karya: Moh. Alim

 

Gerimis kecil senja hari itu tak membuat kami bertiga larut dalam kantuk, di atas mobil baru yang dibawa oleh Pak Bayu dengan sangat laju, namun tak membuat getaran yang berarti. Halte di sebelah lampu merah tampak lengang. Tiba-tiba, entah dari mana asal-usulnya, seorang wanita setengah tua dengan jubah hijau lari dan berteriak dan melambai-lambaikan tangan. Kemudian hilang dari pandanganku. Suara rem yang diinjak Pak Bayu begitu keras. Suaranya melengking membubarkan percakapan kami.

Seorang lelaki kurus, dengan seragam parkir basah kuyup, turut serta menengok wanita tadi. Kami keluar dari mobil. Seonggok sepedah butut terperosok dalam parit. Hampir tak kelihatan. Hujan masih sangat lebat. Arus air yang masuk ke parit itu sangat deras. Wanita setengah tua itu meraih sesuatu. Dengan sigap Andre dan Kamal membantu. Aku hanya panik tak bisa berbuat apa-apa. Tanganku lemas lunglai. Kakiku masih terbungkus perban. Tongkat penyangga yang kubawa hampir saja terjatuh.

“Tolong bawa adik ini ke rumah sakit terdekat, Nak.”

“Oh, iya Bu.”

Wanita itu ikut serta bersama kami. Kebetulan kami juga hendak ke rumah sakit untuk kontrol pasca operasi patah tulang. Gadis itu kelihatan sangat kedinginan. Sangat pucat. Aku hanya berdoa semoga Allah memberikan kekuatan dan keselamatan untuknya.


sumber gambar: https://www.grid.id/read/041769401/viral-kisah-kakak-beradik-rela-jadi-tukang-sol-sepatu-sepulang-sekolah-demi-biaya-pendidikan?page=all


“Jadi, Adik ini siapanya ibu?”

“Bukan siapa-siapa saya. Tadi saya sedang buru-buru menuju halte karena hujan sangat deras. Saya kemudian melihat sepedah kecil yang ditumpangi Adik ini hanyut terbawa arus dan masuk ke saluran menuju parit besar. Teriakannya tidak terdengar. Kalah dengan suara hujan.”

“Saya Amel, Ibu namanya siapa?”

“Saya Khoir, Siti Khoiriyah.”

Andre dan Kamal turut mengulurkan tangan kepada Bu Khoir. Baju yang mereka kenakan hampir kering. Kipas yang ada di rumah sakit itu meski dingin namun sedikit membantu. Sambil menunggu dokter menangani gadis kecil itu, mereka berdua menikmati teh yang kubawa dari rumah. Aku sudah selesai diperiksa dan mendapatkan obat untuk diminum selama seminggu ke depan.

“Jadi, Ibu juga tidak tahu asal usul gadis ini?” kelopak mataku menoleh kepada sosok kecil yang masih lemas terbaring. Belum ada tanda-tanda dia akan tersadar.

“Benar, Mbak Amel. Saya juga sama seperti kalian. Nanti kita tanya saja kepada adik ini setelah siuman.”

Dokter yang menangani gadis itu mendekati kami. “Keluarga adik ini siapa ya?”

Kami saling pandang kemudian Bu Khoir melambaikan tangan menjawab sang dokter. Bu Khoir diajak masuk ke ruangan sang dokter.

Kami dipersilakan untuk masuk ke dalam ruangan gadis kecil. Sang dokter sudah kembali menangani pasien lain. Di ruang UGD penuh sesak pasien yang minta penanganan sang dokter. Rumah Sakit daerah Kepohbaru menjadi alternatif pelayanan kesehatan bagi warga Kepohbaru dan wilayah sekitar Modo.

“Ah…., sakit” gadis kecil itu merintih.

Alhamdulillah akhirnya dia sadar juga. Kami sangat senang. Hendak meninggalkan dia sendirian di rumah sakit ini tanpa siapapun sungguh tak tega. Bu Khoir lebih mendekat lagi ke sebelah kanan si gadis kecil sambil tangan kanannya memegang kaki sementara tangan kirinya mengusap kepalanya.

“Kotak sol sepatuku mana?”

“Ada, kamu tidak usah khawatir, Nak.” seperti anaknya sendiri. Bu Khoir mencoba menenangkan gadis kecil yang masih terkulai lemas itu. Bu Khoir memberinya minum air dan putih dan beberapa butir obat sesuai anjuran dokter. Hujan di luar sudah reda. Namun udara dingin masih menembus tulang.

Matahari telah tenggelam. Orang-orang telah selesai melaksanakan shalat maghrib. Gadis kecil itu mengerjap-ngerjapkan matanya seolah tak percaya dia ada di mana. Kemudian merintih kesakitan. Baru sadar kakinya dibungkus perban dan diapit oleh dua buah papan kecil selebar telapak tangan dan panjangnya masing-masing dua jengkal.

“Namamu siapa, Dik?” tanyaku mencoba mencairkan suasana.

“Aku Rahma.”

“Rumahmu mana, Dik?”

“Aku dekat sini, Kak.”

“Bagaimana tadi adik bisa masuk ke parit?”

“Saya tadi terpeleset dan masuk ke arus.”

Seperti wartawan, hilmi mengintrogasi Rahma, penasaran dengan kejadian yang menimpanya. Sehingga sampai jam 21.00 kita belum juga bisa pulang. Bulan tak nampak. Awan putih masih menggantung di sepanjang penglihatan kami.

“Di mana kotak sol sepatuku. Bu?”

“Kamu tenang saja, dik. Kotak sol sepatu dan sepedamu ada di bagasi mobilku.” kataku.

“Aku harus melaporkannya kepada Bu Guru.”

“Siapa Ibu Gurumu itu?” bu Khoir telah kembali membawa beberapa lembar obat untuk Rahma dan duduk diantara kami.

“Orang tuamu di mana, dik? Kenapa kau hendak melaporkan keberadaan kotak sol sepatu itu?”

“Kedua orang tuaku telah tiada karena pandemi. Sejak saat itu aku ikut Bu Guru Anita. Guruku sekaligus ibuku.”

“Apakah Bu Anita memperkerjakanmu?”

“Tidak. Sudah hampir dua tahun aku ikut dengan Bu Guru. Beliau tak pernah memerintahkanku untuk bekerja. Bu Guru sangat baik. Banyak sekali anak asuhnya selain aku.”

“Apa semua anak asuhnya juga menjadi tukang sol sepatu?”

“Tidak. Hanya aku saja yang menginginkan pekerjaan ini sebagai sedikit balas budi kepada Bu Anita. Aku tidak tega melihat Bu Anita bekerja sendiri. Suaminya sudah meninggal juga sama seperti kedua orang tuaku terkena covid. Sejak saat itu Bu Anita lah yang melanjutkan pekerjaan suaminya untuk mengelola usaha sol sepatu. Banyak sekali anak buahnya sebelum datang pandemi.

"Bu Anita sangat baik," lanjut Rahma, matanya berkaca-kaca. "Beliau mengajariku banyak hal, tidak hanya menjahit sol sepatu, tapi juga mengajariku membaca dan menulis. Beliau seperti ibuku sendiri."

Kami terdiam mendengar penuturan Rahma. Kisah hidup gadis kecil ini begitu menyentuh hati. Bu Khoir mengusap lembut rambut Rahma, memberikannya rasa nyaman.

"Besok kita akan mengantarmu ke rumah, ya?" ujar Amel.

Rahma mengangguk pelan. "Terima kasih, Kak."

Setelah berbincang cukup lama, kami memutuskan untuk pulang. Rahma ikut dengan kami. Sesampainya di rumah Bu Anita, sebuah rumah sederhana di pinggiran kota, kami disambut hangat oleh seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah. Dialah Bu Anita.

"Terima kasih banyak sudah menyelamatkan Rahma," ucap Bu Anita sambil menjabat tangan kami satu per satu. "Saya tidak tahu harus bagaimana membalas kebaikan kalian."

"Tidak usah sungkan, Bu," jawab Amel. "Ini sudah kewajiban kami."

Sebelum berpamitan, Amel memberikan kotak sol sepatu Rahma yang telah diperbaiki oleh Pak Bayu. Rahma sangat senang dan berterima kasih.

Beberapa hari kemudian, Amel dan teman-temannya kembali mengunjungi Rahma. Mereka membawa banyak buku bacaan dan perlengkapan sekolah untuk Rahma. Ternyata, Rahma tidak hanya berbakat menjahit sol sepatu, tetapi juga memiliki bakat menulis cerpen.

"Aku ingin sekali sekolah lagi, Bu. Tapi aku tidak punya uang." Ujar Rahma sedih.

Mendengar itu, Amel dan teman-temannya berinisiatif untuk membuat penggalangan dana untuk biaya sekolah Rahma. Mereka membuat sebuah petisi online dan menyebarkannya ke media sosial.

Dalam waktu singkat, penggalangan dana tersebut berhasil mengumpulkan jumlah yang cukup untuk biaya sekolah Rahma selama satu tahun. Rahma sangat senang dan berterima kasih atas kebaikan Amel dan teman-temannya.

Bojonegoro, 2 September 2024

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kelopak Bunga yang Terakhir (ANGST STORE)

Analisis Teks Argumentasi

Meningkatkan Budaya Positif