Kelopak Bunga yang Terakhir (ANGST STORE)
Nur Fadilla Dea Agustin
sumber gambar: https://medibang.com/picture/r52006120607312720014754157/#google_vignette
Di malam itu, Deana membuat sebuah janji pertemuan dengan
seseorang.
Deana melangkahkan kakinya masuk kedalam kafe tersebut. Dia
sedikit canggung dengan situasi
sekarang karena beberapa pengunjung kafe memuji nya. Mungkin itu
karena pakai yang dia pakai.
Deana memang mamakai gaun batik motif Parang Daholo Munggal yang
dalam bahasa Indonesia berarti "miring api berkobar setiap
waktu" yang memiliki filosofi bawah masyarakat bojonegoro mempunyai
semangat dan mampu memberikan cahaya atau kebahagiaan bagi orang orang di sekitarnya.
salah satu hal ini pula membuat Deana bangga lahir dan dibesarkan di Jawa dan mempunyai
ibu yang suka membuat gaun batik yang tak kalah indah dari gaun modern.
Deana menjadi lebih percaya diri dan memberikan senyuman pada
orang-orang yang memujinya.
Saat Deana masih bingung mencari tempat duduk seorang pelayan
datang dan mengatakan
bahwa sudah ada orang yang memesan meja untuknya. Dia hanya
mengangguk dan mengikuti
arahan pelayan. Akhirnya sekarang Deana
bisa duduk dan bisa menunggu seseorang yang membuat janji dengannya.
Dia menunggu dalam beberapa menit dan seseorang yang dia tunggu
akhirnya datang juga.
"Hello, apakah kamu menunggu aku lama?" orang itu
menatap Deana sedikit canggung. Dia takut Deana marah karena
menunggu lama.
"Santai saja. Kamu bisa duduk dan kita akan ngobrol." Deana
memberikan senyuman kecil.
Dia menurut dan duduk menghadap ke arah Deana.
"Kamu cantik hari ini" dia memuji Deana untuk
menghilangkan kecanggungannya.
"Terimakasih, Galen." Deana merasa sedikit tersipu
dengan pujian yang mungkin tidak pernah dia dengar
dari seorang pria seperti Galen memujinya seperti ini.
Galen adalah teman kelas Deana. Dia terkenal seorang yang dingin
dan tidak pernah peduli
dengan orang lain dan satu fakta yang Deana tahu Galen itu tipikal
pria anti sosial atau bisa dibilang sedikit introvert.
Tapi Galen itu tampan.
"Emmm apakah gaun yang kamu pakai beli? Itu sangat indah saat
kamu mamakainya.." Galen di
buat salah fokus dengan itu.
"Tidak, gaun ini ibu yang merancangnya untukku, apakah
secantik itu?" Deana bertanya.
"Cantik, karena kamu yang memakainya." Galen mencoba memberikan
lebih banyak pujian. Dia
tidak mau ada rasa canggung.
Akui saja ini pertama kalinya dia mencoba mendekati seorang
wanita.
"Emmm begitu ya?" Deana hanya bisa tersenyum.
"Iya, aku akan memesankan makanan untuk kita hem? aku
mentraktirmu malam ini" Galen
tersenyum hangat. Deana ingin menolok namun Galen meletakkan jarinya
di bibir Deana.
"Stttt.. aku tidak suka penolakan."
Pada akhirnya Deana hanya bisa mengikuti apa yang menjadi
keinginan Galen.
Keduanya menunggu makanan datang dan beberapa menit kemudian
makanan yang Galen
pesan sudah datang.
"Nikmati makan kamu, jangan sisakan sedikit pun okey?"
"iya..." Deana dan Galen pun menikmati makanannya masing
masing tanpa ada pembicaraan
apapun lagi.
Mereka nampak sangat menikmatinya hingga suapan yang terkahir.
"Galen, terima kasih untuk makanannya." kata Deana.
Di tengah momen indah ini, sesuatu di dalam diri Galen mendorongnya
untuk mengungkap apa
yang dirasakannya. Namun, entah mengapa dia
tidak bisa melakukannya, Galen takut jika semua yang dia rasakan tidak
diterima oleh Deana. Galen termenung.
"Apakah kamu baik baik saja?" Deana memegang tangan Galen
karena dia tidak mengerti kenapaGalen tiba-tiba diam.
Deg ….
Galen sedikit tersentak dan menjauhkan tangannya dari Deana. Dia
hanya bisa menggelangkan
kepalanya.. wajahnya juga menjadi sedikit pucat.
"Aku baik.. jangan khawatir." dia mencoba menyembunyikan
rasa malunya.
Dean menghela nasaf lega karena tau jika Galen baik-baik saja.
"Apakah kamu pernah merasakan jatuh cinta, dan jantungmu
terasa berdebar?" Galen secara tiba-tiba bertanya seperti itu.
"Semua orang pernah merasakannya, begitu juga dengan aku."
kata Deana.
"Apakah kamu merasakan perasaan itu saat ini?" Galen
memastikan.
"Tidak, saat ini belum ada seorang yang aku taksir. Lagi pula
aku tidak terlalu tertarik dengan hal semacam itu." Deana
menjawab dengan santai.
Galen merasa sesak di dadanya saat mendengar pernyataan Deana. Sudah
dia duga dari awal
memang tidak akan sesuai harapannya, dan sepertinya Galen harus
memendamnya sendiri.
Untuk apa mengungkapkannya sekarang jika nanti pada akhirnya dia
tidak menerima perasaannya.
"Oh baiklah.." Galen mengatakan dengan sedikit nada
kekecewaan.
"Kenapa?" Deana mengangkat sebelah alisnya dan mentap Galen
bingung.
"Tidak apa apa" dia mencoba memberikan senyumannya agar
tidak diketahui apa yang dirasakan olehnya sekarang ini.
Keduanya tidak banyak berkata setelahnya.
"Sepertinya hari sudah semakin gelap, kita harus pulang. Aku
takut ibu mencariku." kata Deana
"Kamu benar, apakah aku perlu mengantarkan kamu pulang?"
Galen mencoba membuat situasi
lebih baik lagi.
Deana menggelengkan kepalanya, "Aku bisa pulang sendiri,
rumahku bahkan tidak jauh dari sini."
Galen pun mengizinkan Deana pulang sendiri. Dia melambaikan tangannya
ke arah Galen lalu
pergi meninggalkan kafe.
*****
Semenjak kejadian malam itu dan rasa tidak percaya diri Galen
membuatnya sudah tak pernah
mendekati Deana, bahkan menyapa pun tidak pernah.
Dia memendam perasaannya sendiri dan membiarkan cintanya bertepuk
sebelah tangan.
Beberapa hari ini Galen juga merasakan sesak di dadanya dan sulit
untuk bernafas, bahkan dia
batuk berlebihan hingga membuatnya semakin tidak mengerti dengan
dirinya sendiri.
Saat jam pelajaran di sekolah, Galen merasakan sesak di dadanya
lagi dan dia harus pergi ke
kamar mandi untuk mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Galen terus terbatuk-batuk di kamar mandi sambil memegang dadanya,
"sebenarnya apa terjadi..
situasi ini begitu rumit." Galen bergumam pada dirinya.
Dia terbatuk lagi namun tiba-tiba keluar darah dan kelopak bunga
dari mulutnya, tentu Galen
terkejut.
"Ap-apaan semua ini?" Galen terbata dan melihat kelopak
bunga dan darah di wastafel kamar mandi.
Galen terdiam beberapa menit dan kemudian meraih sakunya, dia
mengeluarkan ponselnya
untuk mencari apa yang terjadi pada dirinya. Semoga yang dia
pikirkan tidak terjadi.
"Hanahaki?" Tubuh Galen bergetar saat mendapatkan
informasi itu dari ponselnya.
Hanahaki adalah sebuah kondisi medis fiksi yang timbul karena
perasaan cinta yang tidak
terbalas. Penyakit itu ditandai dengan tumbuhnya bunga di dalam
paru paru seseorang. Bunga
itu akan terus tumbuh seiring dengan perkembangan perasaan
seseorang penderita dan yang
lebih mengerikan adalah jika tidak diobati penderita akan mati.
"Tunggu.. tapi bagaimana mungkin, bukankah penyakit itu hanya
mitos?" Galen masih tidak ingin percaya dengan kenyataan
yang dilihat. Galen terbatuk-batuk lagi, dan untuk kedua
kalinya darah dan kelopak bunga itu keluar dari mulutnya.
Dia menutup mulutnya sendiri agar bunga itu keluar lagi. Galen
benar-benar merasa takut.
"Tidak... aku baik baik saja, iya aku baik-baik saja." Galen
langsung berlari keluar dari kamar mandi.
Saat dia berlari menyusuri koridor sekolah. Gelan tidak sengaja
menabrak seseorang dan itu
adalah Deana. Namun saat Deana ingin
bicara. Galen sudah pergi meninggalkannya begitu saja.
Deana tentu kebingungan.
Setelahnya, Deana mendapatkan sebuah pesan yang pengirimnya adalah
Galen. Isi pesannya
adalah Galen ingin menemuinya malam nanti di tempat yang pernah dijanjikan
beberapa minggu lalu.
Tanpa disadari oleh Deana, Galen masih di sana sambil tersenyum
kecil dengan tubuhnya yang
lemah.
"Semoga malam ini aku bisa mengatakannya." katanya dalam
hati, mencoba menyemangati
dirinya sendiri.
Puas menatap Deana dari kejauhan. Galen pun pergi dari sana agar
tidak ketahuan. Dia pulang ke rumahnya sendiri untuk menyiapkan
dirinya sendiri dan mencoba mencari solusi
penyakit aneh yang dialaminya.
Galen hanya diam tanpa berniat melakukan apapun. Pikirannya
sekarang hanya ada Deana.
Dan memikirkannya lebih jauh membuat dadanya sesak lagi dan
kelopak bunga itu keluar lagi
dari dalam mulutnya.
"Okey, aku tidak boleh lemah. Semua akan selesai dengan cepat."
Galen mencengkram dadanya
dan bangkit, sepertinya jam sudah menunjukkan waktunya untuk
segera pergi.
Dia pun pergi ke tempat yang sudah dijanjikan dari awal. Menghabiskan
waktu beberapa menit untuk sampai di Kafe dan saat kakinya melangkah masuk, dia
melihat Deana yang duduk di sana.
Galen mendekat dengan perasaan gugup yang bercampur dengan rasa
takut.
"Hallo, Deana!" kata Galen.
Merasa namanya dipanggil membuatnya menoleh, dia tersenyum kecil
ke arah Galen.
"Akhirnya kamu datang." kata Deana.
"Maaf, karena membuatmu menunggu" kata Galen sedikit
nada penyesalan.
"Tidak apa.." kata Deana
Saat mata bulat Deana menatap lurus ke arah Galen. Dia merasakan
sesuatu yang aneh dengannya. Galen terlihat pucat dan dahinya berkeringat.
"Apakah kamu sakit? kamu begitu pucat." dia mengusap
kening berkeringat Galen menggunakan
tangannya.
Galen sedikit tersipu mendapatkan perlakuan yang mendadak itu,
tapi pada saat yang sama dadanya kembali sakit dan nafasnya seperti tercekik.
Dia terbatuk.
"Gelen, kamu kenapa?" Deana langsung berdiri dari
kursinya dan mendekat ke arah Galen.
Galen hanya bisa menggelengkan kepalanya, terlalu sesak untuknya
berbicara.
"Jangan berbohong, apa yang kamu sembunyikan. Kamu harus
jujur padaku."
Galen hanya diam dan meremas dadanya yang semakin sakit.
"Gelen.." Deana mengangkat dagu Galen, dia tau jika Galen
berusaha menutupi sebuah kebenaran.
Dan akhirnya Galen menyerah dan menghela nafas "Deana aku ---"
belum selesai dengan kalimatnya, darah dan kelopak bunga keluar dari mulutnya.
Deana tentu terkejut karena mata melihat kejadian itu secara
langsung. Dia bahkan sedikit
gemetar.
"Hanahaki?" kata Deana dengan takut.
"Iya.." Galen menyeka darah yang ada di mulutnya, lalu
menatap Deana.
"Bagaimana bisa, aku pikir penyakit itu tidak ada dan kamu…?
siapa yang membuat kamu seperti ini?" kata Deana.
Yang Deana tau jika penyakit ini memang berhubungan dengan cinta
yang tak terbalas.
"Katakan padaku, katakan siapa yang kamu suka." dia
menarik kerah baju Galen dengan air mata.
Galen hanya diam untuk
beberapa saat, sepertinya ini saatnya dia mengatakannya.
"Kamu, kamu adalah orang yang aku suka" Galen langsung
menunduk setelah mengatakan itu.
Deana kembali terkejut dan semuanya pecah begitu saja. Hatinya
sakit saat mengingat bahwa
perhatian Galen selama ini karena tertarik padanya.
Deana tidak tau semua itu.
"Maafkan aku." kata Deana.
Saat Galen ingin bicara. Deana secara tiba-tiba langsung memeluknya
dengan sangat erat dan air
mata itu tidak terbendung lagi.
"Tidak apa apa, aku baik baik saja." Galen berusaha
menenangkan Deana.
Deana tidak mendengarkan dan terus memeluk tubuh Galen semakin
erat.
"Seharusnya aku yang minta maaf padamu. Aku menyembunyikan
semua ini darimu. Maaf
karena tidak pernah jujur. Aku hanya takut kamu menolakku. Entah
mengapa aku tidak bisa
menjadi pemberani saat di depanmu." katanya dengan perlahan
mengeluarkan semua rasa sakit
yang selama ini disimpan.
"Galen, katakan padaku bagaimana cara menghilangkan panyakit
itu. Aku tidak mau kehilanganmu" Deana masih terisak.
"Aku tidak ingin mengecewakanmu, tapi maafkan aku. Mereka
sudah menyebar di paru-paruku."
kata Galen, dia tidak ingin membuat Deana sedih tapi memang inilah
kenyataannya.
"Tidak, tidak kamu tidak boleh pergi. Aku hanya ingin bersamamu.
Aku mencintaimu." kata Deana. Tubuhnya sedikit bergetar.
"Sttt.. jangan manangis, kita akan mencoba cinta kita lagi
suatu hari nanti." kata Galen
"Apa maksud kamu, aku tidak mau kamu pergi, tetaplah bersamaku."
kata Deana menuntun.
Galen hanya tersenyum. Dia tidak mau menjadi lemah di hadapan
orang yang paling dicintanya.
Dia melepaskan pelukan Deana dan menyeka air mata Deana dengan
lembut, "Kamu gadis yang
baik, dan kamu harus bahagia. Jangan pernah menangis karena itu
akan membuatku sedih."
Deana sedikit tenang.
"Bisakah kita membuat janji?" kata Gelen
"Iya.." Deana mencoba sedikit tenang di sini, tapi
dilemanya sudah terlalu dalam.
Galen mengeluarkan jari kelingking, "Ayo keluarkan jarimu
juga."
Deana mengangguk, keduanya pun mengaitkan jari satu sama lain.
"Berjanjilah kedepanku kamu akan menjadi gadis yang paling kuat
di seluruh dunia, berjanjilah
padaku kamu tidak akan pernah menangis lagi setelah ini dan
berjanjilah saat kita mendapatkan
kesempatan hidup kembali kamu akan menjadi pasanganku." kata Gelen.
"Aku berjanji Galen, aku berjanji untukmu" kata Deana
dengan ketulusan.
Mendengar janji itu membuat hatinya merasa tenang. Sepertinya dia
bisa pergi sekarang.
Dan perlahan pandangan Galen menjadi kabur dan dia kehilangan
keseimbangannya dan terjatuh
kedalam pelukan Deana.
"Aku mencintaimu, kita akan bertemu lagi suatu hari
nanti" katanya, setelah itu Galen benar benar kehilangan kesadarannya.
Deana menahan tubuh Galen dengan air matanya yang kembali keluar
begitu saja. Dia menangis
histeris dengan perasaan sedih dan kecewa.
Dia menyesal tapi semua kisah ini berakhir dengan cepat tanpa ada
kesempatan untuk Deana.
Kelopak bunga yang terkahir keluar dari mulut Galen dan terjatuh
ke lantai.
Malam ini menjadi malam terakhir bagi mereka.
Kafe ini menjadi saksi bisu dua jiwa yang saling mencintai tetapi
berakhir dengan sebuah
penyesalan dan rasa sakit.
Faktanya tidak semua kisah cinta berakhir seperti drama romantis
di sebuh film Korea. Karena
kenyataannya ada banyak cinta yang menyakitkan di dunia ini.
Semua orang mungkin tidak ingin penyakit ini menjadi nyata karena
jika itu nyata semua orang
juga akan menjadi bintang dengan cepat, begitu pun kamu dan aku.
Bojonegoro, 24 Oktober
2023
Komentar
Posting Komentar