Sedekah Impian

Oleh: Moh. Alim

"Aku sampek impen-impenen, Dik."

Dia tak menjawab. Hanya melihatku sambil tetap menangis.

Sudah dua hari yang lalu. Aku mengantar jenazah sepupunya. Aku mendapatkan tempat yang beruntung. Mau ikut memikul keranda sudah tidak kebagian tempat. Aku disuruh membawa bunga satu bakul dan setoples air penuh dengan bunga juga. Akhirnya aku yang berjalan paling depan, di depan keranda.



Tak seperti biasa, di tengah pendemi Covid, pelayat memenuhi halaman rumahnya. Laki-laki, perempuan, anak-anak, kalau dihitung ada kalau dua ratusan orang lebih. Pak Kasun dan Pak Lurah yang baru saja dilantik juga terlihat. Tak ada polisi yang berani melarang orang untuk turut serta dalam rumah duka tersebut.

Airmataku mengalir tak beraturan. Sedikit berlari membawa air bunga tersebut. Pembawa keranda seolah mengejarku. Sang mayat hendak segera menuju rumah barunya. Payung yang dibawa oleh sepupu yang lain sekali-kali terlihat pontang-panting terhempas angin, sambil berlari juga.

"Dik, ikhlaskan yaa, agar Mas Ali tenang di alam sana."

"Iya, Mas. Aku hanya tak habis fikir, mengapa harus secepat ini Mas Ali meninggalkan kita."

"Allah lebih mencintai Mas Ali, Dik. Percayalah."

Kerumunan orang yang hadir itu ikut semua mensolatkan di Musala. Salat jenazah dilakukan tiga kloter, karena tak muat.

Galian liang lahat telah selesai. Bahkan mereka telah selesai sebelum jenazah Mas Ali datang. Tanah pekuburan yang becek selepas terkena banjir tidak menyulitkan tukang gali.

Semua orang terdiam. Mengingat Mas Ali yang tadi pagi masih bersenda gurau dengan tetangga-tetangganya, siang hari telah berpulang.

Mengantar Jenazah.

Aku lari menuju bagian depan barisan pengantar jenazah, tepatnya di depan keluarga yang memikul jenazah. Tugasku membawa bak berisi bunga harus kuselesaikan dengan baik. Tak perlu waktu lama untuk sampai di pemakaman. Musala yang dipakai salat jenazah itu letaknya di depan pertigaan arah ke makam.

Waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam lewat tiga puluh. Tadi sebelum salat jenazah pun jamaah sudah melaksanakan salat isya’ secara berjamaah. Galian makam telah selesai bahkan sebelum jenazah sampai di rumah. Tukang gali menunggu sambil menikmati kopi yang dikirim oleh keluarga.

Makam tersebut sangat rapi. Tipe cempuren yang digunakan oleh tukang penggali kubur. Tipe ini dirasa lebih mudah digunakan ketika musim penghujan seperti saat ini. Meski demikian dinding-dinding makam untuk menguburkan Mas Ali sangat halus. Tak ada rembesan air ataupun longsor ketika proses penggalian. Proses penggalian begitu cepat.

“Mas, sampean turun ya.”

Aku menoleh kanan dan kiri melihat siapa yang mengucapkan.

“Saya, Pak Dhe?” ucapku untuk memastikan ucapan itu tertuju untukku. Karena keluarga dari Mas Ali yang ikut ke pemakaman banyak sekali. Tidak menyangka saja kalau aku yang akan menjadi bagian orang yang berada di dalam liang lahat untuk melaksanakan proses pemakaman.

“Iya, sampean.”

“Baik. Saya di bagian tengah saja ya, Mas.”

“Iya, tidak apa-apa.”

Aku pun meletakkan bak berisi bunga di bagian sebelah kanan agak jauh dari keranda mayat agar lebih aman. Jaga-jaga kalau banyak orang lalu-lalang agar tidak tersenggol dan tumpah.

Aku memilih berada di bagian tengah bukan tanpa alasan. Belum pernah? Pernah juga, namun di bagian kaki. Beberapa tahun yang lalu ketika Pak Lik meninggal, aku mendapat kesempatan untuk berada di liang lahat bagian kaki. Memegang mayat di liang lahat lengkap dengan pengikat pocongnya membuat rasa yang tersendiri. Setidaknya mengetahui bahwa nanti aku pun akan mendapatkan proses seperti itu juga ketika meninggal.

Bagian tengah adalah tempat yang paling aman. Jika berada di bagian kepala, aku harus memastikan pipi mayat menempel dengan tanah. Berada di bagian kaki pun harus memastikan satu hal, yakni kaki mayat harus memancat tanah seperti posisi kaki ketika tahiyat akhir.

Aku dan kedua keluarga lain telah siap. Keranda mayat telah dibuka penutupnya. Sejengkal demi sejengkal mayat Mas Ali telah memasuki liang lahat. Dengan sigap aku memegang dan menggesernya agar posisi mayat pas dengan posisi liang lahat. Aku rangkul tubuh dingin Mas Ali. Degg… ada bagian seperti air yang berada di bagian perut Mas Ali. Ada lapisan plastik yang aku pegang. Sepertinya bagian plastik tersebut penuh dengan air. Pikiranku sudah kemana-mana. Apa sebenarnya yang terjadi dengan Mas Ali? Separah itu kah? Hal apa demikian?

Satu demi satu pengikat pocong telah kubuka. Di bagian kepala ternyata benar, terlihat ada lapisan plastik. Berarti lapisan plastik tersebut menutupi sekujur tubuh Mas Ali. Berada di lapisan pertama sebelum kain kafan.

“ Pastikan plastiknya terbuka dan jangan menghalangi pipinya dari tanah ya.”

“Nggeh, Pak Dhe.”

Setelah proses adzan dan iqomah dilaksanakan, papan penutup dipasang, rangkaian bunga yang disusun dengan tali ditaruh di atas papan. Satu dua cangkul telah diayunkan untuk menutup kembali liang lahat dengan tanah galian. Bacaan talqin telah dilaksanakan. Pengantar jenazah telah pulang kembali. Kami sekeluarga tahlil sendiri di samping makam Mas Ali.

***

“Sebenarnya bagaimana to kejadiannya, Mas?”

Kata orang.

Ama, putrinya yang ketiga masih saja menangis melepas keberangkatannya. Ketupat hari ketujuh lebaran masih belum habis. Namun Mas Ali tetap nekad untuk berangkat.

"Ama lho nangis-nangis menghentikan ayahnya berangkat. Aku ya tahu itu. Mas Ali hanya tersenyum. Ibunya sudah memegangi bahunya." Cerita H. Ahmad, tetangga belakang rumah yang kebetulan lewat.

Nasib orang siapa yang tahu. Sudah lama Mas Ali di rumah. Pesanan pekerjaan jok sudah sangat banyak. Konsumen tahu hasil pekerjaan Mas Ali selalu baik. Upahnya tak mahal. Terkadang Mas Ali tak mau memberi harga upah. Upah diserahkan seikhlasnya kepada si pemilik barang. Mas Ali berharap bisa segera membantu kebutuhan orang-orang tersebut.

Usia kandungan istrinya telah tua. Tentunya akan memerlukan biaya yang cukup besar untuk persalinan. Pilihan nama telah disiapkan untuk jenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Hal inilah diantaranya yang menyemangati Mas Ali untuk berangkat bekerja.

"Masyaallah, tadi pagi lho saya masih tertawa bersama Mas Ali. Kami berencana untuk mengadakan arisan umroh dan arisan kurban seekor sapi." sela Pak De Mad.

Lain lagi dengan Bude Sri, dia begitu terpukul. Baru tadi pagi dia mendapatkan sedekah berupa sejumlah uang dari Mas Ali. Sedekah itu diberikan ketika Mas Ali sudah memakai helm dan jaket. "Mas Ali lho mampir rumah saya ketika mau berangkat kerja tadi pagi."

Pak Moden, sesepuh desa, dalam sambutan pemberangkatan jenazah mengatakan bahwa Mas Ali itu tidak pernah telat berangkat ke Musala untuk salat isya' dan tarawih. Mas Ali juga tidak pernah telat membelikan jajanan untuk kegiatan darusan selama bulan Ramadhan.

Mas Ali adalah sosok pribadi yang ramah dan tak pernah marah. Selama menempati desa ini, tetangga sebelah rumahnya tak pernah mendengarnya berbicara dengan nada yang tinggi atau dengan suara keras.

Semua tak akan percaya jika Mas Ali telah meninggal. Kecuali ketika jenazah telah datang dibawa oleh mobil ambulans rumah sakit daerah. Tragis memang.

Saksi mata mengatakan hal yang ganjil. Jalanan masih lenggang. Bahkan bisa dikatakan sepi ketika Mas Ali membuka bengkel jok miliknya. Dengan santai dia mengeluarkan motor yang sudah lama diparkir oleh pemiliknya untuk dibenahi. Setelah selesai semua persiapan, kemudian dia mulai membuka jok motor yang telah sobek tersebut.

"Bruuuaaakkkk...." Sebuah mobil mini box keluar dari jalan dan menghantam Mas Ali. Semua orang berkerumun dan darah telah mengalir di jalan. Motor yang dibenahi Mas Ali hingga masuk ke parit. Mas Ali tak bernyawa.

Semua cerita itu hanya menjadi menjadi sejarah bagi Ama. Mas Ali telah berpulang. Allah telah menyempurnakan kehidupannya di dunia dan memanggilnya kembali untuk berada di sisi orang-orang saleh seperti leluhurnya.

Mas Ali menjadi sesumbang rasa dalam masyarakat. Kemudian menjadi nilai baru dalam kurun waktu tertentu. Hingga menjadi tradisi baru yang mengharu.

Bojonegoro, 16 Juli 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kelopak Bunga yang Terakhir (ANGST STORE)

Analisis Teks Argumentasi

Meningkatkan Budaya Positif