Tabarrukan

Oleh: Moh. Alim


Perjalanan seorang santri dalam menempuh pendidikan agama memang di saat ini sedang menjadi perhatian publik. Semenjak ditetapkannya peringatan hari santri sebagai hari besar nasional yakni setiap tanggal 22 oktober, perbincangan tentang santri menjadi semakin menarik. Banyak sekali aspek-aspek yang dilirik mengenai santri.

sumber gambar: bacabaca.com

Diantara yang menjadi bahan perbincangan adalah santri yang menjadi pelopor kemerdekaan bangsa indonesia. Sehingga muncullah santri sebelum kemerdekaan, santri pada masa perjuangan, dan santri pasca kemerdekaan.

Pada dasarnya santri adalah sebutan bagi seorang yang menimba ilmu pengetahuan di sebuah pondok pesantren. Di pondok pesantrenlah seorang santri digembleng segala hal terkait dengan kehidupan. Baik kehidupan di dunia, maupun kehidupan di akhirat kelak. Belajar tentang hubungan sesama makhluk dan hubungan kepada pencipta makhluk, Allah SWT.

Dalam perjalanannya menempuh pengetahuan, seorang santri memiliki ciri khas adalah ta’dzim terhadap guru, ustadz, atau sang kiyai. Sehingga apapun yang diperintahkan oleh sang kiyai akan dilakukan dengan penuh rasa hormat. Ta’dzim pada ustadz atau kiyai adalah modal utama seorang santri.

Ciri khas santri adalah tabarrukan. Secara arti kata tabarrukan adalah ngalap berkah (barokah) atau mencari berkah. Barokah sendiri adalah karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi manusia. Sehingga dapat diartikan bahwa Tabarrukan adalah mengharap berkah dari sesuatu ataupun hal-hal lain yang Allah Swt telah memberikan keistimewaan dan kedudukan khusus kepadanya.

Mengenai mencari barokah tentunya telah banyak sekali dijelaskan dalam kitab-kitab salaf dengan penjelasan yang sangat mendalam. Adapun yang akan kita bahas kali ini adalah bentuk tabarrukan seorang santri pada zaman saat ini.

Tujuan dari kegiatan tabarrukan seorang santri sangat beragam berdasarkan bentuk kegiatan tabarrukan itu sendiri. Bentuk tabarrukan yang pertama adalah mendatangi kiyai dari kiyai tempat santri itu mondok. Hal ini bertujuan agar ilmu yang dia dapatkan selama ngaji bersama kiyai di pondok pesantren ia berasal bisa semakin mantab. Karena santri itu akan terhubung dengan gurunya sang guru. Kiyai lainnya yang biasanya dituju dalam bentuk tabarrukan ini adalah kiyai yang memiliki sanad keilmuan yang sama dengan kiyai asal mula santri tersebut mondok. Baik kiyai tersebut satu angkatan maupun beda angkatan (kakak atau adik tingkat) dengan kiyai tempatnya mondok.

Bentuk tabarrukan yang kedua adalah berkhidmad kepada kiyai ketika musim liburan. Ketika ngaji di pondok libur lama, seperti menjelang dan sesudah lebaran, di sinilah kegiatan tabarrukan bagi santri dengan berkhidmat kepada sang kiyai dilaksanakan. Ketika santri lainnya pulang ke rumah masing-masing, santri yang berkhidmat kepada kiyai akan melayani kiyainya sebaik mungkin. Mencukupi segala kebutuhan sesuai dengan arahan kiyai. Dalam kegiatan ini santri dan kiyai sama-sama membutuhkan. Kiyai membutuhkan orang yang membantu melaksanakan aktivitasnya sehari-hari dan santri juga membutuhkan berkah dan kajian yang lebih dalam dari kiyai, bahkan ketika santri yang lain sedang ditimang (dimanjakan) oleh kedua orangtuanya di rumah.

Bentuk tabarrukan yang ketiga adalah setelah santri tersebut lulus dari pondok dan mengajar ngaji, maka dia akan memberi nama tempat mengajarnya sama dengan nama pondok tempatnya dahulu mondok. Hal ini dilakukan bertujuan adalah agar tempat belajar yang didirikan oleh santri tersebut mendapatkan barokah dari kiyainya terdahulu dan dengan mengharap kepada Allah SWT. agar tempat ngaji yang didirikannya bisa sama ramainya dan sama barokahnya dengan pondok tempatnya belajar. Seperti halnya beberapa nama yayasan yang ada di lingkungan sekitar penulis. Antara lain Yayasan Bahrul Ulum, Madrasah Aliyah Bahrul Ulum Kepohbaru Bojonegoro. Yayasan dan MA tersebut dinamakan Bahrul Ulum adalah berasal dari nama Pondok Pesantren Bahrul Ulum yang ada di Jombang. Pendiri yayasan Bahrul Ulum Kepohbaru dahulu adalah santri dari Pondok Bahrul Ulum Jombang. Begitu pula dengan Yayasan Darul Ulum Nglumber Kepohbaru dan Yayasan At-Tanwir yang ada di Talun. Kedua pendiri yayasan tersebut memakai nama tempat mereka mondoh dahulu untuk yayasan yang mereka dirikan.

Adapun saat ini, generasi millenial jarang sekali yang tahu dan faham dengan ciri khas santri tersebut. Hal ini bisa saja dianggap wajar karena memang mereka tidak belajar di pondok pesantren. Dan lebih parah lagi bahwa mereka tidak diberikan pemahaman yang penting mengenai tabarrukan itu sendiri.

Memang barokah adalah hal yang ghaib. Barokah adalah hal yang tidak serta merta kelihatan setelah melakukan suatu hal. Tak jarang bahkan suatu barokah tersebut datangnya tanpa didasari oleh orang tersebut. Begitulah kuasa Allah SWT dalam menyayangi hamba-Nya yang bertaqwa.

Menurut Abah Suroto, Kepala MA bahrul Ulum Kepohbaru, saat ini tak ada cara lain yang dapat dilakukan untuk mengembangkan pemahaman tentang barokah kepada santri generasi muda (millenial) selain praktik dari guru atau ustadz. Jika guru hanya menceritakan hal-hal berkaitan dengan barokah, generasi muda sekarang hanya akan mengangguk saja. Namun mengangguknya itu pertanda bosan atau faham juga tidak diketahui oleh sang ustadz atau guru. Masih menurut beliau, santri generasi millenial memerlukan contoh langsung atau suri tauladan dari guru atau ustadznya. Jika tidak, maka akan sia-sia sajalah usaha yang dilakukan oleh guru atau ustadz tersebut.

Seorang santri itu harus mempunyai guru. Namun akhir-akhir ini banyak sekali santri (yang menyebut dirinya santri) itu hanya berguru kepada seseorang tanpa pernah bertemu muka sama sekali dengan gurunya. Memang materi atau kitab-kitab yang disampaikan tidak jauh berbeda. Namun keberhakan yang didapatkan akan sangat berbeda dengan santri yang berguru secara langsung dengan guru atau kiyai. Gus Miftah dalam sebuah ceramahnya mengatakan bahwa melihat wajah guru atau kiyai dengan perasaan gembira atau hormat saja sudah mendapatkan pahala dan keberkahan yang luar biasa.

Memang perkembangan teknologi sedikit banyak mengubah tatacara berguru atau menuntut ilmu santri zaman modern. Sedangkan tatacara santri yang terdahulu ketika mau berguru kepada seorang kiyai saja sampai harus dipasrahkan oleh orang tua kepada kiyai tersebut. Pendidikan anak adalah tanggungjawab orang tua.

Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat At-Tahrim, ayat 6, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari apni neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”

Ayat di atas mengandung makna bahwa seorang anak itu tidak akan dapat terhindar dari siksa api neraka jika anak tersebut tidak mengetahui segala sesuatu yang berkaitan tentang hal-hal yang mendekatkan dan menjauhkan diri dari api neraka. Pendidikanlah yang akan mampu memberikan gambaran kepada anak. Sehingga terkandung maksud kewajiban sepenuhnya bagi orang tua terhadap pendidikan anaknya.

Dengan jalan memasrahkan anak kepada kiyai ini menandakan bahwa sang orang tua telah mengakui bahwa dirinya tidak mampu atau lemah dalam kewajiban memberikan berbagai pengetahuan kepada sang anak, sehingga orang tua meminta bantuan kepada kiyai untuk memberikan pengetahuan sebagai bekal kehidupan anak mendatang.

Sebagai penutup pembahasan ini, ada sebuah penyampaian dari Abdullah bin Umar ra. (dikutip dari http://muslim.or.id, Kitab Tuhfah al Maudud, hal. 123), Beliau berkata: “Didiklah anakmu, karena sesungguhnya engkau akan dimintai pertanggungjawaban mengenai pendidikan dan pengajaran yang telah engkau berikan kepadanya. Dan dia juga akan ditanya mengenai kebaikan dirimu kepadanya serta ketaatannya kepada dirimu.”

Bojonegoro, 21 Nopember 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kelopak Bunga yang Terakhir (ANGST STORE)

Analisis Teks Argumentasi

Meningkatkan Budaya Positif