Kontekstual Perjuangan

Moh. Alim*

Pada dasarnya kemerdekaan bukanlah puncak dari sebuah perjuangan. Perjuangan menjadi usaha setiap orang untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan atau diimpikan. Jika pada masa sebelum kemerdekaan, para pahlawan (pejuang) secara bersama-sama bertujuan untuk memerdekakan Negara Indonesia. Sehingga pada 18 Agustus 1945 tercapailah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.

Perjuangan terus bergulir. Pada kisaran tahun 1965-1966, perjuangan Bangsa Indonesia mengarah kepada Pemusnahan Paham PKI dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Begitu seterusnya hingga munculnya orde baru (1966-1998). Kemudian muncul masa reformasi sebagai wujud perjuangan orang-orang pada masa itu demi mencapai tujuan-tujuan yang harus diadakan di Negara Indonesia. Begitu seterusnya hingga era milenium dan milenial pada saat ini.

Jika pada masa dahulu perjuangan kemerdekaan berasal dari daerah-daerah. Kemudaian disatukan dengan gerakan pemuda-pemuda di tiap daerah. Sampai akhirnya bersatu padu membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada masa ini, perlawanan melawan penjajah dengan menenteng senjata perang memang tidak ada. Untuk melanjutkan perjuangan para pahlawan dapat dilakukan dimanapun. Di daerah dan di tingkat nasional. Kalaupun kita tidak bias membantu perjuangan Negara dalam skala nasional, kita bias membantu perjuangan Negara dalam sekala regional/daerah, maupun sekala kecil (kecamatan/pedesaan).

Pada masa ini pun perjuangan harus harus selalu dilanjutkan. Bentuk yang dapat dilakukan oleh masing-masing orang tergantung kepada bidang yang digeluti atau diminati. Perjuangan menjadi tanggungjawab seluruh orang yang ada dalam wilayah atau Negara yang ditempatinya. Para petani bisa berjuang dengan meningkatkan hasil produksi tani. Pegawai pemerintahan di tingkat desa bisa melakukan perjuangan dengan memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Pelajar tentunya berjuang terus dengan belajar yang baik dan disiplin menyiapkan diri sebaik mungkin untuk persiapan di masa mendatang.

Dalam hal kedaerahan, tampaknya pemerintah melalui menteri pendidikan menerapkan kurikulum 2013 untuk melakukan hal-hal terkait bagaimana meneruskan perjuangan para pahlawan di sekala regional atau kedaerahan. Hal ini terlihat di dalam kurikulum 2013 terdapat sebuah perwujudan sistem kontekstual dalam proses pembelajaran. Kurikulum 2013 memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk memperkaya pengetahuan dari berbagai sumber, seperti buku, internet, dan lingkungan sosial masyarakat.

Seorang guru harus mampu mencari dan menggunakan hal-hal yang ada di daerahnya (tempat siswa belajar) atau potensi lokal untuk mengembangkan proses pembelajaran. Seorang guru yang tinggal di daerah pegunungan tidak perlu bersusah payah untuk memberikan pengalaman langsung kepada siswa mengenai lembah dan rawa-rawa. Guru bisa mengenalkan bagaimana potensi pegunungan dengan jenis-jenis tanamannya dan bagaimana hutan yang ada di daerah pegunungan bisa menjadi supplai utama oksigen yang ada di dunia.

Hal lain yang harus dilakukan oleh seorang guru adalah mengembangkan kecakapan siswa terkait dengan potensi lokal yang ada di sekitar siswa. Siswa harus mengetahui potensi lokal. Kemudian siswa dilatih untuk memiliki kecakapan hidup dalam mengembangkan potensi lokal tersebut. Jika telah demikian, maka ketika siswa tersebut selesai masa pendidikannya, siswa tersebut tidak serta merta menjadi manusia urban, merantau ke kota-kota besar. Mengadu nasib yang belum tentu wujudnya. Tapi meraka akan berjuang untuk mengembangkan daerahnya masing-masing.

Para pemuda boleh saja merantau untuk mengembangkan dirinya terlebih dahulu. Untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Setelah itu seharusnya mereka kembali ke tempat kelahirannya masing-masing untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki. Memperjuangkan kemakmuran daerahnya masing-masing. Jika hal ini telah dilakukan, maka tak akan ada lagi daerah-daerah yang tertinggal di Negara Indonesia ini.

Kita harus menanamkan pada diri pemuda bahwa mereka akan dengan mudah meneruskan perjuangan di daerah tempat tinggalnya. Tak perlu jauh-jauh ke kota metropolitan atau megapolitan. Jika kita bisa mengembangkan potensi daerah, maka perjuangan bisa dilakukan oleh siapapun di daerah tersebut. Tak peduli itu anaknya pahlawan atau anaknya nelayan. Tak peduli itu anaknya kontraktor atau anaknya kuli bangunan. Semua bisa melakukan perjuangan. Dengan modal niat, tekad, dan ilmu pengetahuan.

Bojonegoro, 06 Agustus 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kelopak Bunga yang Terakhir (ANGST STORE)

Analisis Teks Argumentasi

Meningkatkan Budaya Positif