Happy 18th

Karya: Muhammad Alim

"Kamu jangan menulis terus, entar botak lo" celoteh Mas Diki sambil lalu melewatiku.

Aku hanya nyengir saja dengan tetap memegang bolpoin dan kertas. Aku sudah biasa mendengar ocehan-ocehan seperti itu. Rasa-rasanya seluruh teman seperusahaanku selalu mengolok apa yang aku lakukan, menulis. Secara apa yang dilakukan oleh perusahaanku jauh dari yang namanya tulisan. Pabrik kusen pintu dan jendela.

Aku sudah lima tahun lebih mengikuti permintaan orangtuaku untuk bekerja di perusahaan milik pamanku ini. Meski bukan saudara kandung ayah dan ibuku, namun paman memberlakukanku sudah seperti anaknya sendiri. Sehingga aku bekerja bisa semaksimal mungkin. Seolah-olah aku mengerjakan milikku sendiri.

Aku memang sudah sejak SMA suka menulis. Namun selama ini hanya untukku sendiri. Coretan-coretan bolpoin dalam buku tulis selalu kusimpan rapi. Hingga aku bertemu dengan seorang gadis gingsul setahun lalu. Dia mengikuti ayahnya membeli jendela di tempat kerjaku.

Untuk memesan jendela tersebut, orangtuanya meninggalkan nomor kontaknya. Agar ketika mengantar pesanan dapat menghubunginya dan tidak tersesat. Alhasil, aku sering komunikasi denganya meski hanya sebatas sms.

***

"Memangnya Mas punya uang untuk menerbitkan tulisan-tulisan itu?" tanyanya ketika kuutarakan niatku untuk menerbitkan kumpulan puisiku.

"Akan aku usahakan, Dik" jawabku yakin.

"Bukannya lebih baik Mas gunakan untuk menabung? Katanya Mas mau melamarku tahun depan."

"Allah telah mencukupkan semuanya, Dik. Adik kan telah faham firman-Nya dalam surat At-Thalaq, ayat 2-3, yang artinya:
"Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah akan berikan jalan keluar dan Allah berikan rezeki dari arah yang tak terduga sebelumnya. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, cukuplah Allah yang mencukupkannya. Sesungguhnya Allah kuasa atas segala sesuatu." (Q.S. At-Thalaq: 2-3)

"Iya, Mas. Aku percaya sama Allah. Tapi"

"Jika Allah sudah menghendaki nanti, maka tak akan ada sesuatu pun yang dapat menghalangi."

Dia memang seperti itu. Selalu melarangku untuk melakukan hal yang menurutnya sia-sia. Namun dia tidak berfikir jauh ke depan mengenai sebuah hasil karya, buku terbit.

Perusahaan paman memang tidak besar. Namun tiap hari ada saja orang yang datang memesan barang. Upahku tiap bulan hanya sedikit. Pamanku menyimpankannya untukku. Aku hanya diperbolehkan minta uang sesuai kebutuhanku saja. Sisanya tetap disimpan paman.

Aku harus menyisihkan kebutuhanku jika aku ingin menerbitkan karyaku. Aku tak akan boleh meminta uang kepada paman untuk menerbitkan buku. Meski itu uangku sendiri. Hasil keringatku.

***

"Akhirnya dia datang juga" fikirku dalam hati. Sudah lama sekali aku menunggunya. Senja hampir saja habis. Pasir putih di pantai cemara telah sedikit suram.

"Kemana saja, Dik?"

"Itu tadi ada Mas Tamam mampir ke rumah" jawabnya singkat sambil berjalan santai dengan sengaja membenamkan ujung kakinya di dalam pasir. Ketika ia melangkah, pasir-pasir itu ikut berjalan mengiringinya.

Aku berjalan di sampingnya. Mengikuti irama angin senja di pantai cemara, Tuban. Kuhentikan langkah di sebuah kursi panjang. Tampak penjual menawarkan minuman. Dia tidak menjawab dengan kata-kata. Hanya gelengan kepala ke kanan dan ke kiri saja.

"Fatimah binti Hamid, maukah kau menerimaku menjadi pendamping hidupmu?" sambil aku menyodorkan sebuah kotak bersampul biru.

"Heheheee" dia hanya tersenyum.

"Bukalah"

Tanpa berhenti tersenyum, dia membuka kotak yang kuberikan. Sampul pertama telah berhasil dia lepas. Terdapat tulisan pada sampul kedua, "Selamat ulang tahun ke 18 yaaa."

Dia semakin lebar senyumnya. Diciumnya kotak tersebut. Kemudian dia buka lagi sampul kedua. Mata jernihnya berkaca-kaca memandangi isi kotak. Dia mendekapnya erat. Diciumnya lagi isi kotak.

"Terima kasih ya, Mas."

Entah kapan aku bisa bersanding dengannya di pelaminan. Cukuplah buku "Menuju Mahligai Bersamamu" menjadi jembatan niat dan tekadku.

Bojonegoro, 15 Juli 2019

#cerpeninspiratifkaryaku
#kitabelajarmenulis

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kelopak Bunga yang Terakhir (ANGST STORE)

Analisis Teks Argumentasi

Meningkatkan Budaya Positif