Phobia Jarum Suntik

Oleh: mbah_alim


Entah sudah berapa lama saya tidak merasakan yang namanya disuntik, atau bahasa kedokterannya dinamakan injeksi. Terakhir seingat saya sudah 4 tahun silam ketika ujung jari jempol saya terkena mesin rajangan tembakau. Waktu itu hanya suntik bius disekitar luka yang ada. Selain itu saya biasanya hanya sakit demam ringan, batuk pilek, dan sakit kepala saja karena terlalu repot mikir laporan. Dan pengobatan selama mengalami sakit-sakit itu hanyalah obat toko atau minta diperiksa bidan desa tanpa injeksi. 😁😁

Kamis kemarin saya benar-benar beruntung bisa merasakan kembali injeksi di seorang dokter.

Kamis pagi sebelum jam 6 saya sudah berolahraga. Ciyeeee... 😁 Biar sehat. Meski hanya mencabuti rumput di pekarangan samping rumah yang saya tanami jagung dan lombok-tomat. Tiba-tiba saya merasakan sakit yang aneh yang selama ini belum pernah saya rasakan. Dalam bernafas, saya tidak bisa plong. Dan ketika dipakai bernafas panjang, terasa sedikit sakit di daerah ulu hati. Segera saya hentikan aktivitas olahraga tersebut dan meminta istri untuk mengambilkan air minum.

Saya langsung minum air putih dan duduk di kursi ruang depan. Setelah beberapa saat ternyata sakit itu masih terasa. Saya minta untuk dibelikan obat pereda nafas sesak. Dan berangkatlah istri saya dengan sedikit panik. Sebentar saja saya menunggu, ia sudah datang lagi dengan membawa satu kaplet obat bergambar orang yang menghela nafas panjang itu. Saya minum hanya separuh kaplet sesuai aturan pakai.

Kemudian saya buat duduk dan mencoba berbaring. Ternyata rasa sesak dan nyeri itu masih saja. Tambah lagi rasa-rasa ingin batuk mulai muncul. Dalam hati saya sudah panik sekali. Jangan-jangan ini adalah penyakit dalam yang sudah parah. "Ya Allah berilah hamba-Mu ini tambahan kesempatan untuk lebih sedikit mendekat kepada-Mu". Begitu doa saya dalam hati.

Istri saya sendiri sudah tambah panik. Dan meminta saya agar tidak berangkat ke sekolah. Saya akhirnya meminta izin tidak berangkat ke sekolah lewat ponsel.

Setelah mandi dan sedikit sarapan, saya menuju ke ustadz saya untuk meminta bantuan diobati. Ustadz saya adalah seorang yang biasa membantu orang sakit dengan ramuan alami. Hal ini hampir sama dengan ibu mertua saya, beliau selalu memberikan obat alami kepada seluruh anggota keluarga ketika mengalami gangguan kesehatan yang ringan. Namun Alhamdulillah, ramuan yang dibuatkan oleh ibu saya itu sering manjur atau berhasil mengurangi gejala sakit yang muncul.

Alhamdulillah saya ketemu ustadz dan menyampaikan uneg-uneg keluhan saya. Setelah diberikan satu dua ulasan dan saran, saya langsung pamit undur diri untuk istirahat di rumah. Sampai rumah saya langsung mempraktikkan apa yang dikasih tahu ustadz saya tadi. Kemudian saya mencoba berbaring. Seorang diri di rumah. Seisi rumah telah melakukan aktivitasnya masing-masing.

Saya mencoba memejamkan mata sembari memegang tasbih untuk melantunkan sholawat dalam hati dan lisan. Saya berpasrah kepada Allah, seumpama rasa sakit ini adalah akhir hidup saya, biarlah bacaan sholawat ini menjadi pengiringnya. Begitu fikiran saya berjalan ngelantur.

Sampai saya tertidur dan terbangun kembali ketika istri saya datang dari sekolah. Rasa nyeri tersebut sedikit berkurang. Namun dalam bernafas, saya belum bisa nernafas dalam-dalam. Saya sudah dipaksa untuk berobat ke dokter oleh istri saya dan ibunya. Namun saya nggak mau. Takut merepotkan dan biayanya juga mahal.

Hingga akhirnya sore selepas ashar saya menyerah untuk berangkat berobat ke dokter. Sampai sana saya yang menyetir. Mau diboncengkan istri juga malu dilihat orang. Entar orang-orang malah heboh sendiri.

Ruang tunggu masih sepi. Saya disambut oleh seorang ibu-ibu setengah baya dan memberi saran agar saya mengambil nomor urut. Alhamdulilah saya dapat nomor urut enam. Tidak begitu lama antrinya, begitu kata istri saya.

Antrian pertama baru akan dimulai pada pukul 17.00 wib. Masih setengah jam lagi. Menunggu sambil menikmati pemandangan jalan raya yang padat dan berdekatan dengan rel kereta api.

Sampai akhirnya saya dipanggil dan disuruh baring di ranjang pemeriksaan. Dengan tul-tul dan beberapa pertanyaan kecil yang saya jawab seputar keluhan saya, sang dokter sudah faham obat apa yang harus diberikan kepada saya.

"Tengkurap, suntik."
Saya disuruh tengkurap dan akan diinjeksi. On no....😇

Bagaimana rasanya disuntik yaaa. Sambil tengkurap saya membayangkan bagaimana jarum suntik itu akan menusuk (maaf) bokong saya dan menembus lampiran-lampiran daging tipis hingga akhirnya mentok sampai tulang. Betapa sakitnya yaaaaa... 😨

Menunggu beberapa menit, keringat dingin saya sudah keluar.

Saya melihat dokter itu kembali sambil membawa dua alat injeksi.
"Waduh, apakah dua suntikan itu untuk saya semua?" Begitu ucap saya dalam hati.

"Tengkurap yang betul." Ucap sang dokter dengan nada tegas. Galak juga dokter ini ternyata. Nggak tahu apa pasiennya ini takut disuntik. 😁

Dengan sigap saya tengkurap lagi dan menunggu sebuah atau dua buah suntikan yang saya lihat tadi akan menancap swmuanya di (maaf) bokong saya.

Akhirnya cresssss.... Sebuah jarum suntik menembus kulit tubuh saya tersebut. Dan Alhamdulillah hanya satu saja. Semoga tidak terulang lagi. Sambil merem-melek saya bangun dan membetulkan ikatan sarung yang saya pakai.

Tinggal menunggu bingkisan obat. Kalau untuk minum obat saya tak ada kata ogah, hanya injeksi saja yang saya hindari.

Sebuah tas kresek akhirnya saya terima dengan penyampaian bla-bla-bla tentang aturan minumnya. 

Alhamdulillah.. dapat enam lembar obat.

Semoga Allah mengabulkan doa kalian semua sahabat-sahabat saya yang hebat.
Selamat bersemangat menjalankan aktivitas.
Semoga barokah dan dapat memberikan manfaat bagi yang lainnya.

Aamiin

Baru Lor-Sidomukti, Kepohbaru, 07 Desember 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kelopak Bunga yang Terakhir (ANGST STORE)

Analisis Teks Argumentasi

Meningkatkan Budaya Positif